RADARBEKASI.ID, BEKASI – Menjelang penetapan upah 2026, atmosfer industri di Bekasi menghangat. Di tengah tuntutan buruh agar upah naik mengikuti Kebutuhan Hidup Layak (KHL), pengusaha semakin vokal menyatakan keberatan dan menyebut kenaikan upah dapat memicu relokasi pabrik ke daerah dengan upah lebih rendah.
Efisiensi hingga pengurangan jumlah tenaga kerja disebut menjadi pilihan realistis agar perusahaan tetap bertahan. Di satu sisi, perusahaan memutar otak menghadapi kenaikan upah yang kian tinggi. Di sisi lain, pekerja menilai kenaikan upah adalah kebutuhan mutlak agar daya beli masyarakat tidak terus tergerus. Dua kepentingan yang saling berhadapan ini membentuk arus tarik-menarik yang kian kuat menjelang penetapan upah 2026.
Pekan lalu, serikat pekerja dan serikat buruh di Bekasi secara tegas menyatakan menolak kenaikan upah minimum versi pemerintah yang diperkirakan hanya sekitar Rp90 ribu per bulan. Angka itu dinilai tak signifikan meningkatkan daya beli masyarakat.
Gelombang aksi besar-besaran pun tengah disiapkan untuk 24 November mendatang. Situasi semakin menghangat setelah pengumuman Upah Minimum Provinsi (UMP) yang seharusnya dirilis pemerintah pada 21 November justru batal. Pemerintah pusat masih menggodok formulasi penetapan upah terbaru, sehingga pembahasan di tingkat daerah ikut tertahan. Unsur pemerintah dan pengusaha dalam dewan pengupahan masih menunggu keputusan final dari Jakarta.
Di tengah diskusi mengenai formulasi upah, muncul isu lain yang tak kalah besar, gelombang relokasi pabrik dari Bekasi ke daerah lain. Banyak pihak menilai harga tenaga kerja menjadi salah satu pemicu. Kabupaten Bekasi, yang selama ini dikenal sebagai episentrum industri di Indonesia, kini menghadapi kenyataan bahwa sejumlah perusahaan memilih memindahkan operasional mereka ke wilayah dengan upah lebih rendah, terutama ke Jawa Tengah.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Bekasi, M Yusuf Wibisono, membenarkan kabar tersebut.
“Ada, saya juga dengar dari teman-teman pengelola kawasan itu ada beberapa tenan yang mereka merelokasi juga,” ujarnya Minggu (23/11).
Yusuf menilai, upah minimum Kabupaten Bekasi memang sudah berada di titik yang sangat tinggi. Kenaikan upah tahun depan dinilai bisa menjadi pemicu gelombang relokasi yang lebih besar jika kebijakan tidak mempertimbangkan kondisi industri.
Yusuf menjelaskan, formulasi pengupahan tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Bagi perusahaan otomotif yang ia wakili, kenaikan 6,5 persen tahun ini sudah menjadi beban berat, apalagi jika angkanya mencapai 8–10 persen seperti yang diusulkan pekerja.
Tekanan paling besar justru dialami perusahaan Tier 1, 2, dan 3 yang berperan sebagai pemasok industri besar. Kondisi semakin kompleks karena grafik penjualan perusahaan otomotif Jepang, yang mendominasi kawasan industri Bekasi, juga menunjukkan tren menurun.
Efisiensi pun menjadi kata kunci bagi pengusaha untuk bertahan. Pengurangan jam kerja, pemangkasan jumlah tenaga kerja, hingga automasi menjadi opsi jangka pendek. Sedangkan jangka panjang selalu terbuka pilihan relokasi ke wilayah yang menawarkan struktur upah lebih rendah.
“Dengan begitu pengusaha bisa survive. Apakah itu kemudian merelokasi ke daerah yang upahnya murah atau bagaimana,” lanjut Yusuf.
Namun, pernyataan soal efek negatif kenaikan upah bukan tanpa perlawanan. Dari pihak pekerja, narasi relokasi dan ancaman pemutusan hubungan kerja dianggap sebagai propaganda pengusaha yang muncul setiap kali pembahasan kenaikan upah berlangsung.
Sekretaris KC FSPMI Bekasi, Sarino, menilai akar masalah perusahaan tutup bukan pada upah, melainkan rendahnya daya beli masyarakat akibat upah yang tak kunjung menyesuaikan kebutuhan hidup layak (KHL). Ia mencontohkan pabrik Yamaha Piano di Kabupaten Bekasi yang tutup karena produk tidak lagi laku di pasaran, bukan karena tekanan upah.
Sarino menyebut bahwa wacana eksodus industri dari Bekasi kerap dibesar-besarkan, sementara fakta mengenai banyaknya investasi baru justru jarang dipublikasikan. Industri di Bekasi saat ini, menurutnya, berkembang dengan segmentasi yang kuat, terutama pada sektor elektronik, otomotif, dan logam.
Sementara perusahaan yang pindah ke kawasan Jawa Tengah bukan sepenuhnya karena upah, melainkan konsentrasi industri. Semarang menjadi pusat pakaian dan tekstil, Batang berkembang sebagai kawasan industri sembako, sepatu, dan tekstil, sedangkan Kendal mendatangkan banyak investasi non-otomotif.
“Tidak, justru kita dari sisi buruh malah mensupport pemerintah, karena itu pemerataan. Dengan begitu lapangan pekerjaan di daerah akan tumbuh, ekonomi juga tumbuh,” tegas Sarino menanggapi fenomena relokasi.
Hingga kini, rapat pengupahan di Kota maupun Kabupaten Bekasi masih berjalan. Namun, dewan pengupahan dari unsur pemerintah dan pengusaha belum mengusulkan angka kenaikan konkret. Semua mata tertuju pada keputusan pemerintah pusat mengenai formulasi upah terbaru. Perdebatan di daerah pun sejatinya sama dengan yang berlangsung tingkat nasional: persoalan besaran indeks tertentu dalam hitungan upah.
Indeks ini disebut berada pada kisaran 0,2 hingga 0,7. Bagi buruh, angka tersebut dianggap tidak mencerminkan keadilan untuk daerah dengan KHL tinggi. Sarino mencontohkan Jawa Barat sebagai gambaran paling nyata.
“UMP Jawa Barat itu dua juta, sedangkan KHL Jawa Barat data BPS tahun 2024 itu Rp3,1 juta,” ujarnya. Dengan kata lain, upah baru memenuhi sekitar 66 persen dari biaya hidup layak.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang menyatakan bahwa penetapan upah minimum harus mempertimbangkan KHL menjadi payung hukum bagi tuntutan pekerja. Namun bagi pengusaha, tantangannya tetap sama: bagaimana bertahan di tengah banyak komponen biaya yang terus meningkat.
Di antara tarik-menarik itu, nasib jutaan pekerja dan masa depan industri di Bekasi masih bergantung pada keputusan akhir pemerintah. Penetapan upah tahun 2026 tinggal menunggu waktu, namun konsekuensinya baik bagi perusahaan maupun pekerja sudah terbayang jelas sejak sekarang.(sur/pra)

6 days ago
28

















































